salam hangat,,
proses berfikir merupakan hak mutlak bagi semua manusia tak terkecuali dimanapun dia berada, begitu pun kawan-kawan dan saudara saya di Majalaya.
manarik! beberapa kawan saya yang masih duduk dan baru saja lulus dari SMU, khususnya kawan-kawan SMU pasundan yang masih muda, tetapi minat mereka pada filsafat sudah sangat besar dan tinggi... pemikiran tersebut bermuara pada pencarian tentang bagaimana hakikat hidup melaui pengenalan tuhan juga di dalamnya.
namun sayang! beberapa kawan saya yang merupakan pemikir autodidaktik terhadap filsafat maupun teologi tersebut memiliki pelbagaimacan kecenderungan, ada yang berfilsafat sebagai khiasan argumentasi untuk kemenangan retorika, tetapi ada juga yang memang betul-betul merefleksikan diri melaui filsafat sebagaimana perenungan dan proyeksi diri terhadap keberadaan kehidupan ini.
jujur, saya sangat ingin sekali mengadakan semacam ikatan yang lebih akrab untuk sama-sama belajar agar proses tersebut jauh lebih baik dan bermanfaat (maaf bukan bermaksud pragmatis).
secara umum kecenderungan yang pertama, yaitu kawan-kawan yang lebih senang berfilsafat sebagai style of speak bermuara pada pandanga bahwa kehidupan ini berdiri sendiri sedemikian rupa tanpa satu konsep yang dinamakan tuhan, secara eksplisit kawan yang satu ini adalah seorang atheis (ism) yang memegang paham ketiadaan tuhan, tetapi dalam beberapa pernyataannya, kawan saya tersebut tidak menyebutkan referensi yang kuat tentang ideologinya tersebut, maka dari itu saya katakan bahwa kawan saya ini adalah seorang filusuf autodidak bahkan sebetulnay lebih karena referensi pun tidak ia sebutkan, tetapi tentu saja berfilsafat bukan berarti harus terlahir dari sebuah institusi atau representasi pemikiran dari proses literasi (baca buku dll) karena jika muaranya tuhan, tentu tuhan memiliki caranya tersendiri kepada setiap orang dan melalui kondisi tertentu, dengan kata lain Tuhan menampakan dirinya sesuai dengan keberadaan proyeksi manusia pencarinya itu sendiri.
kembali kepada pokok pembahasan, dalam kesempatan ini saya hanya ingin menyampaikan ajakan diskusi yang telah lama terjalin namun belum pernah saya tanggapi, dan saat ini melaui blog ini adalah waktu yang tepat untuk itu...
kawan saya selalu berbicara bahwa "tidak ada tuhan dan jika benar tuhan itu ada, coba buktikan" hal ini bukanlah persoalan yang mudah.
pertama: pernyataan bahwa tuhan tidak ada atau atheisme harus diselidiki asal muasalnya, apakah dari L. Andreas Feuerbach tentang antrotheism atau dari J.P Sarte tentang Eksistensi melebihi eksistensi 9?)
kedua: bukti bahwa tuhan ada pun memang selalu bermuara pada retorika kepercayaan, keyakinan dan keimanan. sulit mendaptkan jawaban yang logis dan sederhana untuk, meskipun tuhan sangat mudah menjawabnya, hanya saja keterbatasan manusia yang mempersoalkannya.
untuk menjawab dan berdiskusi dengan kawan saya di majalaya tersebut tentu saya hanya akan menyampaikan beberapa pemikiran yang saya dapat dari beberapa pengajar, dan saya tidak berpretensi diri sebagai orang yang belajar filsafat secara akademis.
menurut Dr. Simon Petrus Lili Tjahjadi, bahwa Atheisme adalah pemikiran yang sudah lama berkembang, dan menurut saya selalu berakhir pada hal-hal yang bersifat privat (tidakterpublikasikan/terumumkan/tergeneralkan bagi setiap orang). bapak pemikiran atheisme adalah Feuerbach sebelum Satre dll tetapi dalam kesempatan ini saya pun tidak engin melanjutkan pembahasan pembicaraan tentang bagaimana ideologi Feuerbach berkembang, yang jelas ada hal yang sedehana yang Dr. Simon kutip dari pernyataan Pascal, paskal berpendapat bahwa:
"perdebatan tentang ada dan tiadanya tuhan bagi saya adalah sebuah pilihan. Jika saya mempercayaai adanya tuhan, kemudian suatu saya terbukti bahwa tuhan memang benar-benar tidak ada, hal itu tidak menjadi kerugian bagi saya, karena dengan percaya pada tuhan, saya menjadi manusia yang berusaha untuk selalu berbuat baik. tetapi jika saya tidak percaya akan adanya tuhan dan suatu saat terbukti bahwa tuhan memang benar-benar ada, Wahhh!!! celaka!"
tentu pergulatan theis dan atheis serta pilihan tentang ideologi tersebut tidak lah sesederhana pilihan diatas, pilihan untuk mempercayai adanya tuhan pun mungkin akan berlandaskan pada ketakutan akan murkanya tuhan karena kita menegasi keberadaannya. bukankah ketidakpercayaan akan adanya tuhan akan jauh lebih terhormarmat karena usahanya untuk memahami seberapa jauh tuhan itu mampu dipahami oleh manusia, dan kondisi sang atheis tengah berada pada tahapan ketidakpercayaan padanya (?)
atau dielektika pascal tentang pilihan tersebut akan menyederhakana pergulatan tentang tuhan, tentu saja tidak... tuhan tetap akan kita cari dengan cara dan hasil yang berbeda, dan satu yang paling penting adalah perbedaan tersebut bukan lantas dijadikan postulat untuk menjustifikasi bahwa yang lain keliru...
kawan-kawan pemikir majalaya, diluar sana proses perenungan tentang tuhan sudah berlangsung selama ribuan tahun, beberapa proses tersebut telah terekam dalam sebuah buku dan bentuk literasi lainnya.. kita sebagai manusia kontemporer memiliki sedikir keuntungan untuk bisa tahu setidaknya gambaran bagaimana orang-orang terdahulu memikirkan hal itu. sepertinya kurang bijak juga jika kita terlalu apriori bahwa apa yang kta pikirkan dan nyatakanadalah kebernaran saat ini, sementra orang lainsudah jauh-jauh hari menulis tentang itu...
saya tidak banyak tahu tentang kawan majalaya yang lain yang memiliki web yg juga membahas hal yang sama, mohom maaf bila lancang.
salam
Pepep DW ti wangisagara majalaya